Selasa, 29 Mei 2012

Bermetamorfosa, dan Memetamorfosakan

Oleh: Hadiahdi  



Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Belum lama aku mengenalnya. Tapi rasanya, dia sudah membuatku jatuh cinta dan benar-benar menjatuhkanku ke dalamnya. Dia yang membuatku nyaman. Dialah Lembaga Dakwah Kampus atau biasa kita sebut dengan LDK. Kurang lebih, baru dua tahun ini aku mengenalnya. Untuk ukuran ‘pdkt’ memang terlihat lama, tapi tidak dalam hal ini, aku merasa begitu cepat prosesku mencintainya.
Sebuah metamorfosa, berproses selama kurang lebih satu tahun lamanya. Ditempa bagaikan besi, hingga akhirnya sedikit demi sedikit menjadi perabot yang bermanfaat. Bagaikan mimpi. Dari zero menjadi hero. Jika memang ini mimpi, rasanya tak ingin terbangun walau hanya sekejap. Terlalu indah untuk dilewatkan.
Tak ada penyesalan, mungkin inilah akhir dari sebuah cinta penuh keikhlasan. Ikhlas ditempa, dijatuhkan, dicaci, dibenturkan, dipaksa, ah, rasanya amat menyakitkan. Tapi ketika ikhlas, sungguh sepahit apapun itu, akan terasa manis jika dimaknai dengan benar.
Step by step, kiranya begitulah caraku. Awal mengenal tak begitu menyenangkan. Berawal dari sebuah keterpaksaan untuk harus berjilbab lebar, mengenakan rok, kaos kaki, dan ‘perangkat’ lainnya. Menjadi bukan aku banget!
Sedikit menceritakan bagaimana aku di zaman dulu. Tidak terlahir dari keluarga yang ketat dalam urusan agama membuatku nyaman dalam meninggalkan shalat dan puasa. Puasa Ramadhan yang bolong pun sepertinya tak genap kulunasi. Selalu menuntut hak, tapi tak pernah sempurna dalam menjalankan kewajiban. Betapa jahilnya aku di masa itu. Berhubungan tanpa batas dengan lawan jenis yang bukan mahramku adalah rekor terburuk seumur hidup. Lalu, apakah aku menyesal? Tentu. Tapi kurasa tak ada gunanya untuk menyesal. Yang dapat kusyukuri sekarang adalah karena jahilku di masa lalu kemudian aku bisa memaknai perjalanan di LDK sebagai sebuah kisah indah. Jika aku sudah alim sejak awal, mungkin aku akan merasa biasa saja dengan perjalanan menjadi ADK ini. Bukankah tak akan ada kisah indah tanpa sebuah kisah buruk? Begitulah, aku yang masih berada di titik yang jauh dari hidayahNya.
Perjalanan menuju hidayah itu bermula ketika aku masuk ke sebuah kos binaan takmir masjid kampus. Saat itu, tinggal di sana terasa bagaikan masuk penjara Islami. Harus bangun pagi, shalat subuh berjamaah, dilanjutkan dengan membaca Al-Ma’tsurat, kultum, riyadhah, semuanya membuatku bosan dan lelah. Ingin pindah dan pergi, tapi kurasa itu tak mungkin. Orangtua yang masih was-was dengan kepergianku ke Jogja memintaku untuk tetap tinggal bersama kakakku yang kos di tempat itu. Yap, aku hanya bisa manut.
Suatu hari, kultum pagi ba’da subuh membahas tentang aurat dan cara dalam menjaganya. Seorang mbak kos berkata, “Pakai kerudung itu mestinya yang menutup dada. Tak harus bagus. Kaya punya dia itu loh, cantik tapi tak syar’i”, dia berkata sambil menunjuk ke arahku yang saat itu mengenakan kerudung cantik dengan belahan pinggir sampai pundak. Ah! Begitu menohok. Tapi, bukannya mengganti jilbab, aku justru membenci mbak kosku itu.
Beberapa hari dari kejadian tersebut, rohani Islam di kampusku mengadakan recruitment anggota. Dengan percaya diri, aku ikut mendaftar karena diajak oleh seorang kakak angkatan. Masih dengan celana jeans dan kerudung tak syar’i, aku masuk ke organisasi tersebut. Saat itu, aku berfikir, tak mungkin sebuah organisasi Islam menolak calon anggotanya karena pakaian yang dikenakan. Dan ternyata benar. Aku masuk sebagai staff Departemen Akademik.
Berhari ku jalani aktivitas di sana. Mulai terasa ketidaknyamanan itu. Ketika bersama dengan teman-teman, aku malu dan minder. Dengan jilbabku yang sekian rasanya tak pantas aku berada di sana bersama mereka. Alasan inilah yang kemudian membuatku mundur perlahan dari SKI (Sie Kerohanian Islam) dan stay di HIMA (Himpunan Mahasiswa). Lama vakum dari SKI ternyata membuatku rindu. Kawan-kawan yang begitu hangat, ukhuwah yang terasa begitu erat walau baru saja bertemu. Ah! Rindu sekali rasanya. Tapi saat itu rasa minder dan malu mengalahkan segala kerinduanku.
Beberapa bulan pasca masuk SKI, aku dikumpulkan dalam sebuah agenda. Sebut saja agenda itu sebagai ‘Liqaisasi’. Yap! Saat itulah aku mulai dekat dengan LDK, dengan tarbiyah. Segala di dalamnya memahamkanku akan Islam, yang menguatkan ibadah dan aqidah. Dan aku pun mulai berubah. Bukan menjadi Sailormoon, apalagi Baja Hitam. Tapi menjadi aku yang lebih shalihah.
Terjadi perbaikan sedikit demi sedikit. Pemaksaan terhadap diri sendiri-pun tak jarang dilakukan karena harus memenuhi target amalan yaumiyah. It’s wrong, but I think this is my first step. Proses yang tak sebentar dan tak mudah pula. But, I believe I can.
Masa OSPEK memberiku kesempatan lebih untuk memperbaiki diri. Ketika sebelumnya aku malu dengan jilbab besar saat belajar di kelas, di saat OSPEK lah aku mulai belajar untuk berjilbab yang syar’i. Auratku hampir tertutupi dengan sempurna, tentu saja dengan bantuan dekker dan jilbab besar. Betapa lingkungan itu mempengaruhi kepribadian, sikap, dan tata cara berpakaian sekalipun.
Selepas OSPEK, aku mencoba istiqamah dengan pakaianku, kawan-kawan di LDK, di kelompok halaqah, mereka yang membantuku untuk istiqamah. Tidak dengan menasihatiku, tapi bagaimana mereka memberikan contoh untuk istiqamah jauh lebih baik dari 1000 nasihat.
Memasuki tahun kedua, sebuah kejutan besar ketika aku yang masih jauh dari kata shalihah ini harus memegang amanah sebagai coordinator akhwat departemen jurnalistik di SKI.
Seringkali merasa tak mampu, amanah ini terlalu besar, amanah ini bukan untukku, dan mengeluhkan hal-hal lain yang tak berguna. Saat seperti itulah aku benar-benar merasakan indahnya ukhuwah. Kekuatan mereka yang menguatkanku, dan petuah mereka membuatku sadar pentingnya menjaga amanah. “Ini bukan amanah dari mbak atau masmu dik, amanah ini datangnya dari Allah. Bukan mbak yang memilihmu menjadi ko-akh, tapi Allah yang memilihmu. Kami hanya perantara saja”, begitu kata salah satu tim formatur (penentu pengurus) kepadaku. Yes, begitu menguatkan dan memunculkan benih motivasi dalam diriku.
Masuk semester empat, aku mulai mengampu tutorial di kampus. Inilah kelompok pertama yang aku ampu, dengan jumlah empat akhwat yang berbeda karakter dan kapasitas yang juga berbeda. Tantangan yang kurasa tak mudah adalah bagaimana aku harus bersikap di antara mereka, dimana yang satu paham agama dengan baik, sedangkan yang lainnya belum. Semangat belajar dan mengajarku meningkat karena tantangan tersebut.
Kelompok tutorial yang baru kuampu selama delapan minggu menjadi keluarga baru bagiku. Mereka yang membuatku nyaman. Dan satu hal yang membuatku senang, ketika kulihat seorang adik tutorku yang jarang shalat bersedia mengimami teman-teman kelompoknya saat shalat Zhuhur. Kusadari, tugasku saat ini tak hanya bermetamorfosa menjadi diri yang lebih baik, tapi juga bagaimana aku mampu memetamorfosakan orang lain menjadi lebih baik pula. LDK yang membelajarkanku. Ah, aku begitu jatuh cinta dan tak ingin meninggalkannya. Tapi amanah orangtua harus tetap dijalankan, kuliah dengan waktu singkat menjadi target baru. Semoga nantinya mampu menjadi ADP di kampus tercinta.
Sahabat, masa lalu adalah kenangan. Jadikan ia sebagai memori yang bisa menjadi parameter dalam kehidupanmu selanjutnya. Tak peduli siapa pun kamu di masa lalumu, yang penting saat ini adalah bagaimana kamu bisa memperbaiki kesalahanmu di masa lalu. Jangan malu untuk berubah, jangan malu untuk berbeda. Mulailah dengan satu langkah dan keberanian untuk bermetamorfosa. Dan lihatlah akan menjadi seperti apa kamu nantinya. Masa depanmu? Siapa yang tahu? Jadi, mulailah untuk mengukir jejak keberhasilanmu.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20753/bermetamorfosa-dan-memetamorfosakan/#ixzz1wKHRSexQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar